Wednesday, July 25, 2012

Terima Money Politic = Menghalalkan Korupsi

Terima Money Politic = Menghalalkan Korupsi


Oleh : Muh. Ikhwanudin Alfianto *
Baru saja di Ponorogo tahun 2012 ini telah dilaksanakan proses Pemilihan Kepala Desa. Tahun-tahun sebelumnya ada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu datang semua senang, itulah arti dari pesta rakyat sejati. Namun bagaimana jika kesenangan tersebut hanya dibatasi sebatas mendapatkan uang. Bagi sebagian masyarakat, momentum seperti Pemilu digunakan untuk mendapat keuntungan, baik atas nama masyarakat maupun atas nama golongan tertentu (kepentingan pribadi). Sedangkan bagi kandidat, momen Pemilu adalah momen untuk membagi-bagikan uang/materi (dalam bentuk yang bermacam-macam) untuk mendapat keuntungan yang lebih besar lagi.
Praktik yang sering disebut sebagai money politic ini masih dinilai cara paling jitu untuk menaklukkan pemilih. Modus operandinya bisa bermacam-macam. Ada yang langsung berwujud uang dalam amplop, bisa berwujud barang atau materi, bisa berwujud jasa bahkan bisa berwujud janji untuk memberikan materi dan sebagainya. Sedangkan waktunya juga bisa berbeda-beda, namun yang paling rawan terjadinya money politik adalah pada hari tenang dan pada malam sampai saat pemungutan suara.
Perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat dan sistem politik yang masih mendewakan materi memaksa seorang kandidat melakukan permainan uang (money politic) dalam Pemilu. Dengan dua kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian terpaksa korupsi kalau sudah menjabat.
Di sisi lain masyarakat sedang sakit akibat perilaku konsumtif, sehingga selalu menetapkan standar terhadap seseorang dengan ukuran materi. Masyarakat tidak lagi memperhatikan latar belakang (track record) dan mempertanyakan program atau visi-misi kandidat yang bersangkutan sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan politiknya. Masyarakat lebih sering bertanya apa yang akan mereka dapatkan.
Sekelompok orang menganggap bahwa politik uang adalah sudah sewajarnya. Bahkan ada yang bilang, sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat. Karena kalau bukan pada saat Pemilu, kapan lagi akan bisa ikut menikmati manisnya dum-duman. Anggapan sudah sewajarnya itu karena memang selama ini dalam musim Pemilu, selalu saja ada uangnya. Bahkan ada yang sampai menganggap Pemilu adalah saatnya sebar dan bagi-bagi uang.
Sedang sekelompok lainnya, menganggap bahwa money politic berakibat tidak sehatnya pemilihan seorang pemimpin. Karena pemimpin yang terpilih bukanlah pemimpin yang benar-benar berkualitas, tapi pemimpin yang hanya bermodalkan uang.  Tujuan pemimpin yang hanya bermodalkan uang perlu dipertanyakan niatnya merebut kekuasaan. Jangan-jangan setelah terpilih nanti bukannya mewujudkan kesejahteraan melainkan malah mengeruk uang rakyat.
Praktik money politic seperti ini dapat merusak dan mencederai demokrasi. Money politic itu rentan dengan korupsi. Tak mungkin seseorang membuang ratusan juta bahkan miliaran rupiah tanpa kepentingan (konon rata-rata Rp 15 M untuk calon bupati, Rp 1 M untuk Caleg, Rp 0,5 M untuk calon Kepala Desa). Tidak mungkin peserta Pemilu dan tim sukses yang mengatakan ingin membela kepentingan rakyat, tapi tidak mempedulikan uangnya yang habis selama kampanye.
Itulah yang menghabiskan biaya yang cukup besar bagi peserta Pemilu. Dampak dari tingginya biaya itulah yang menyebabkan kandidat yang terpilih cenderung melakukan praktik korupsi. Tujuannya, untuk mengembalikan biaya Pemilu sekaligus investasi politik masa mendatang.
Praktik money politic memang sulit untuk dihilangkan. Soalnya, antara yang memberi dan menerima sama-sama senang. Kalau sama-sama senang, pastilah semua diam. Kecuali, ada salah satu pihak terutama yang menerima tidak mau, maka hal itu bisa membongkar praktik money politic.
Money politik juga dapat dikiaskan dengan (maaf) kentut. Kentut itu baunya menyengat (ibarat bangkai), abstrak, dan hampir absurd untuk menonjok si pemilik kentut. Proses pencarian pembuktian yang cukup sulit, sekalipun bau kentut itu tercium dan sangat mengganggu penciuman. Oleh karena itu, semua pihak harus ikut mengawasinya dan panwas Pemilu diharapkan benar-benar dapat berperan untuk mengungkapnya.
Momen Pemilu merupakan momen penting untuk memunculkan pemimpin yang dekat dengan rakyat dan peluang untuk mencari aktor pemimpin yang mampu melakukan pembaruan dan melaksanakan aspirasi masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat sendiri diharapkan dapat terlibat secara aktif dalam prosesi Pemilu dan proses aktivitas politik lainnya sehingga hal tersebut dapat menjadi sarana tersendiri bagi masyarakat untuk meningkatkan daya tawarnya terhadap pemerintah.
Semua kembali kepada rakyat dalam memilih calon yang menyebar uang atau tidak menyebar uang. Kalau menyebar uang semuanya, apakah akan memilih yang menyebar uang paling banyak atau paling sedikit. Atau, akan mengambil uangnya, tapi tidak akan memilih calonnya.
Namun pesan seperti “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya” sebenarnya juga tidak mendidik masyarakat. Sikap yang paling baik adalah memilih kandidat sesuai dengan hati dan pikiran masing-masing serta MENOLAK money politik dari para kandidat. Menerima money politic dalam Pemilu sama dengan ikut “menghalalkan” praktek korupsi di Pemerintahan. Nah, berarti dalam bahasa agama berarti ikut “kecipratan” dosanya juga. Wallahu A’lam….
* Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Ponorogo
diambil dari : http://reogreform.com/index.php/read/artikel/49/terima-money-politic--menghalalkan-korupsi

No comments:

Post a Comment

TEORITIS EMANUEL WALLERSTEIN

1.       Biografi Emanuel Wallerstein Immanuel Wallerstein  (lahir pada tahun   1930  di  New York, AS ), nama lengkapnya adalah Immanuel ...

30 hari